Khusus Laki-laki, Ini 5 Cara Menghadapi Toxic Masculinity

Istilah toxic masculinity atau maskulinitas beracun semakin sering dibahas dalam berbagai diskusi seputar kesehatan mental dan kesetaraan gender. Tapi apa sebenarnya makna dari istilah ini, dan bagaimana laki-laki bisa menghadapinya? Toxic masculinity mengacu pada norma sosial yang menekan laki-laki untuk selalu tampil kuat, dominan, tidak emosional, dan agresif. Standar ini bukan hanya merugikan perempuan dan masyarakat secara umum, tetapi juga berdampak buruk pada laki-laki itu sendiri—baik dari sisi mental, emosional, maupun relasi sosial. Berikut ini lima cara yang dapat dilakukan laki-laki untuk menghadapi dan melepaskan diri dari jeratan toxic masculinity:


1. Kenali dan Sadarilah Pola Maskulinitas yang Merugikan

Langkah pertama dalam menghadapi toxic masculinity adalah dengan menyadari bahwa hal tersebut ada dan mungkin sudah tertanam sejak kecil. Contohnya seperti larangan untuk menangis, anggapan bahwa pria sejati harus menjadi pencari nafkah utama, atau bahwa menunjukkan emosi adalah tanda kelemahan.

Refleksi diri menjadi kunci. Cobalah tanyakan pada diri sendiri: apakah saya merasa tidak nyaman saat ingin menangis? Apakah saya merasa perlu menunjukkan dominasi dalam hubungan agar dianggap “jantan”? Kesadaran ini membuka ruang bagi perubahan yang sehat.


2. Belajar Mengekspresikan Emosi Secara Sehat

Banyak laki-laki diajarkan untuk menekan perasaan mereka—baik sedih, cemas, atau takut—karena dianggap tidak maskulin. Padahal, menekan emosi dalam jangka panjang bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental.

Mengekspresikan emosi bukan tanda kelemahan, tapi tanda keberanian. Mulailah dengan berbicara terbuka pada teman dekat, pasangan, atau bahkan profesional seperti psikolog. Menulis jurnal atau meditasi juga bisa menjadi cara untuk mengenali dan mengelola perasaan dengan lebih baik.


3. Bangun Relasi yang Sehat dan Setara

Toxic masculinity sering kali mendorong laki-laki untuk bersikap dominan dalam hubungan, baik dalam pertemanan, keluarga, maupun percintaan. Akibatnya, relasi menjadi timpang dan tidak sehat.

Cobalah bangun hubungan yang di landasi oleh empati, komunikasi terbuka, dan rasa hormat. Dengarkan pasangan atau teman tanpa merasa perlu untuk selalu mengontrol atau memimpin. Hubungan yang setara bukan hanya lebih harmonis, tetapi juga membuat kita merasa lebih di terima dan dihargai.


4. Ubah Pandangan Tentang Maskulinitas

Tidak ada satu cara yang benar untuk menjadi laki-laki. Maskulinitas tidak harus identik dengan kekerasan, ketegasan, atau ketangguhan fisik semata. Menjadi laki-laki juga bisa berarti menjadi penyayang, sabar, empatik, dan reflektif. Ada turnamen slot mingguan dengan hadiah puluhan juta di situs slot terpercaya ini.

Dukung diri sendiri untuk mengembangkan berbagai aspek kepribadian yang lebih seimbang. Tertarik dengan seni, memasak, atau merawat anak bukanlah hal yang memalukan bagi laki-laki. Justru, ini menunjukkan kedewasaan dan keutuhan sebagai manusia.


5. Jadilah Agen Perubahan di Lingkungan Sendiri

Salah satu cara paling efektif untuk menghadapi toxic masculinity adalah dengan menjadi teladan. Mulailah dari lingkup kecil: keluarga, teman, atau tempat kerja. Tunjukkan bahwa menjadi laki-laki bukan berarti harus selalu “keras” atau menekan orang lain.

Ketika teman membuat lelucon seksis atau merendahkan perempuan, beranilah untuk menegur dengan cara yang bijak. Saat adik laki-laki menangis, katakan bahwa itu hal yang wajar. Perubahan budaya di mulai dari tindakan kecil yang konsisten.

Baca juga: Daftar Situs Slot Terbaik untuk Main Spaceman Pragmatic Play

Toxic masculinity bukan hanya masalah sosial, tapi juga isu kesehatan mental. Dengan memahami dan menghadapi pola-pola maskulinitas yang merugikan, laki-laki dapat menjalani hidup yang lebih autentik, sehat, dan bahagia. Tidak ada salahnya menjadi kuat, tapi kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk bersikap jujur terhadap diri sendiri—termasuk mengakui kerentanan dan kebutuhan untuk berubah.

Melalui lima langkah di atas, laki-laki bisa turut berperan dalam menciptakan masyarakat yang lebih setara, inklusif, dan berempati. Sudah saatnya kita mendefinisikan ulang arti menjadi laki-laki.